[CONTOH CERPEN] - Makna yang Tak Tersampaikan
Bukan seperti apa yang kamu pikirkan, sebuah gelang biasa. Manik-manik berwarna coklat dan hitam disatukan dengan seutas benang suede, setelah itu ujung pada benang dimasukkan secara bersamaan pada satu manik hitam. Guna inilah agar dapat menyesuaikan diameter lingkaran yang diinginkan. Semakin besar jika tangan seperti ini yang menggunakannya.
Kembali aku menekankan lagi bahwa gelang itu bukan gelang biasa, aku beli waktu itu saat akan meninggalkan Kota Jakarta setelah 1,5 bulan tinggal di sana. Aku bahkan meminta secara memelas pada seorang yang ditugaskan untuk mengantarkan aku ke Stasiun Gambir. “ Mas, bolehkah aku di ampirin ke pusat oleh-oleh di sekitar Stasiun Gambir?” kataku. Aku jelas tidak melihat mimik wajahnya, tapi yang jelas dengan pasti bahwa dia sedikit kesal di hari libur kerja harus mengantarkan diriku, mungkin waktunya ini bisa digunakan untuk meluruskan badannya di kasur empuk sambil menikmati tontonan tv yang asyik. “ Di mana ya? Kalau setahu ku itu di Kota Tua, tapi kan nggak mungkin terlalu jauh ini. Kenapa nggak kemarin saja?” jelasnya. Aku paham sih, kenapa waktu aku jalan-jalan ke Kota Tua tidak kepikiran untuk membeli oleh-oleh sekalian, ah aku juga tidak paham kenapa aku ingin membeli oleh-oleh di saat mungkin uangku tidak sebanyak itu. Mungkin begini, selayaknya pergi jauh ketika bertemu akan ditanya,” oleh-olehnya apa ini?” dan untuk menghindari jawaban yang memusingkan itu lebih baik memang harus beli.
“Jakarta oleh-olehnya apa ya?” tanyaku untuk memudarkan keheningan di perjalanan. Walaupun sebenarnya aku sedang menikmati sepoi angin pagi Jakarta yang saat itu sedang lenggang jalanannya, hanya terlihat anak-anak muda bersepeda pagi dan kendaraan motor yang berlaju santai. Suasana ini beda sekali saat aku mencoba naik motor sendiri ke Stasiun Rawa Buaya untuk menemui teman kelas waktu kuliah. Dan begitu gilanya mereka berkendara, tidak ada sabarnya, tidak ada yang mengalah dan laju dengan begitu cepat. Sedikit ngeri sih, untuk aku yang pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta ini, lebih tepatnya di Jakarta Barat. Jiwa penasaranku juga sering aku gunakan, sehingga pernah nyasar yang entah ke mana, ingin kembali ke kos lagi dengan bermodalkan map. Dan itu susah sekali, seperti 500 meter aku harus berhenti, mengambil handphone di tas. Padahal aku biasa meletakkannya di dasbor motor, tapi di sini dilarang keras. Banyak copet dan jambret di mana-mana, menyasar apa saja yang bisa nantinya untuk dijual. Begitulah Jakarta, kerasnya Jakarta. Kata-kata yang sering diucapkan sehingga aku pun takut sendiri. Aku belum kaya untuk mengganti handphone ini hilang, terlebih aku belinya pun saat itu dengan cicilan.
“ Muter-muter dulu di sekitar Monas ya, siapa tahu ada yang jualan” kata masnya menjawab pertanyaan yang tidak begitu nyambung. Tapi tidak apa-apa, setidaknya mas ini mau mengantarkan aku untuk membeli oleh-oleh yang saat itu aku tidak tahu mau beli apa. Beberapa waktu lalu aku juga tanya, sebelum waktu pulang pada karyawan lain. “ Jakarta nggak punya makanan khas deh, patung ondel-ondel, hahaha” jawab mereka dengan canda tawa. Sungguh menyenangkan mereka menjawab pertanyaan dengan candaan, yang sebelumya aku memang merasa penuh tekanan.
Belum juga memutar seperti tadi apa yang direncanakan, tapi ternyata sudah ada gerbang yang dibuka, dan dari jauh terpantau tenda-tenda yang lumayan banyak, “ sepertinya itu pusat oleh-oleh mas, ke situ saja. Masih ada kan ya waktunya.” pintaku dengan suara yang sedikit meminta penuh. Akhirnya motor bebek ini masuk ke area yang tadi aku tunjuk, dan memang benar banyak kendaraan baik sepeda motor atau pun mobil terpakir. Aku meminta mas nya untuk menunggu dengan menitipkan beberapa cangkingan tas yang menyebalkan ini. Sampai sekarang saja aku tidak tahu, aku sebel banget jika perjalanan jauh membawa beberapa cangkingan tas, dan tapi kenapa selalu ada dan tidak bisa dihilangkan heran sekali.
Saking semangatnya aku jalan, dan tidak tahu juga saat itu kenapa aku begitu semangat, aku tidak tahu kalau ada undakan turun, sehingga aku keseleo dan secara reflek aku melihat sekitar ternyata tidak ada yang melihat. Syukurlah, dalam hati. Ketika masuk area, hanya terlihat beberapa ruko yang buka dan pandangan pertamaku tertuju pada dagangan bapak-bapak memakai kaos putih pak haji, begitu lengkap dengan gantungan kunci, kaos-kaos bertuliskan Jakarta, dan berbagai miniatur terbuat dari plastik dan kayu berwarna-warni. Seperti biasanya, aku adalah tipikal orang yang ketika lihat pertama senang, langsung malas untuk pergi ke yang lain dengan membandingkan harga. Atau mungkin pada saat itu aku juga sedang diburu oleh waktu keberangkatan kereta. Aku langsung membeli 2 pack kunci, dan 3 gelang seperti itu. Ya, aku membeli gelang itu hanya tiga buah saja. Ingatanku berputar beberapa tahun lalu, ketika aku menerima hadiah al quran terjemahan for women, kecil sehingga bisa dibawa kemana-mana, dan sampai sekarang saja masih aku gunakan. Masya Allah banget teman aku satu ini. Dan aku masih ingat tulisannya, masih tersematkan pula pada Al quran itu, semoga persahabatan kita seperti lingkaran tasbih ini, tidak ada awal dan akhir, tidak terputus. Menyenangkan kan? Begitu makna yang akan aku berikan pada dua temanku ini.
Setelah membeli, kami bergegas pergi. Dan ya, aku ucapkan terima kasih dengan tulus pada mas ini . Aku masuk ke stasiun yang begitu besar, dan merasa kecil diriku ini, bukan kecil secara fisik tapi hati dan semua-semuanya yang melekat pada diriku. Mba-mba yang cantik dengan gaya pakaiannya yang anggun, mas-mas yang ganteng dengan penampilan yang necis, dan sangat tidak mungkin untuk memandang diriku yang kumal, kusam, dan kurang menarik ini. Setelah kereta datang dan aku menikmati perjalanan ini.
Ah, tibalah pada saat yang membuatku tersadar pada perasaan ini, bahwa rasa bertepuk sebelah tangan memang sakit ya. Walaupun ini bukan soal romansa yang sampai saat ini belum aku rasakan, tapi ternyata konteks pertemanan juga menyakitkan. Saat itu aku sudah mempersiapkan 3 gelang itu, pertama jelas untuk diriku sendiri dan dua gelang lain untuk teman yang ada di sini. Wah.... sampai aku tidak bisa berkata-kata waktu itu, karena bingung juga untuk menjawab bagaimananya. “aku ada oleh-oleh gelang buat kamu.” kataku dengan nada senang. Dia memperhatikan dengan seksama, melihat gelang yang sudah aku pakai, dan “ jangan yang kembar deh, aku pilih gantungan kunci saja.” jawabnya dengan nada yang santai. Dan aku hanya diam, setelahnya memberikan bermacam gantungan yang aku beli untuk dipilihnya. Hampir dua hari aku memikirkan apa yang dia katakan, sampai aku ragu untuk memberikan satu gelang lagi yang aku siapkan untuk teman yang lain. Sempat ragu tapi akhirnya aku berikan juga padanya dan ya, dia santai untuk menerima dan ya jelas untuk jadi simpanan dia saja. Karena banyak sekali barang pemberian orang-orang yang diberikan kepadanya.
Setelah ini yang aku pikirkan adalah “ tidak ada gunanya untuk mengakui seseorang atas dasar pemikiran sendiri, tetap bersikap sewajarnya, yang penting tidak berbuat jahat. Sepertinya itu sudah cukup untuk melakukan kegiatan sebagai makhluk sosial.”
Comments
Post a Comment