Secercah Ingatannya
Sosok lelaki bertubuh besar dan tinggi, bekas
rambut-rambut halus berewok yang menghiasi muka bulatnya. Mata sipit dengan
hidung sedikit mancung, membuatnya semakin terkesan sebagai orang kebumen.
Lahir dari anak petani desa Kalibagor. Dia memiliki sifat pendiam dan jarang
berbicara, hanya melontarkan senyuman pada hal-hal yang lucu saat candaan. Pak
Haji, panggilan akrab masyarakat setempat, nama asli H. Makhrus Syafii jarang terdengar tawanya sampai terbahak-bahak. Anak pertama dari lima
bersaudara membuat dirinya berusaha memposisikan sebagai kakak yang menjadi
pemimpin untuk ditiru oleh adik-adiknya.
Perjalanan
hidupnya yang lahir dari kalangan keluarga agamis ini selalu mengajarkan
pendidikan keagamaan, terbukti dia harus mondok di luar kota untuk menambah
ilmu agamanya. Sewaktu dirinya muda dia harus merantau mencari ilmu agama
keluar kota, kemandirian dan kedisplinan terbentuk ketika dia mampu selama enam
tahun lamanya berpisah dengan orang tua. Selesai dari pendidikan agama dan
sekolah menengah atas dia kembali ke desa untuk bertemu dengan orang tuanya dan
bersiap menerima pekerjaan sebagai petani dan juga penjual beras mewarisi usaha
orang tuanya. Pada saat itu juga, dirinya harus menjadi tulang punggung
keluarga bagi keluarganya. Orang tuanya memutuskan untuk berhenti bekerja dan
menyerahkan semua pada dirinya.
Saat menjadi
petani dia mengejarkan urusan sawahnya yang sangat luas, kata penduduk setempat
bahwa sawah milik pak haji Marwan hampir satu desa miliknya, hanya sedikit
bantuan dari adik-adiknya. Kemalasan dan hanya menerima enak sikap dari
adik-adiknya. Untuk itu, dia memutuskan menjadi penjual beras yang belum dia
lakukan dari usaha orang tuanya. Karena hanya sebagai petani tidak ada hasil
maksimal yang dia dapatkan, cukup bahkan kurang untuk makan dan membiayai
sekolah adik-adiknya.
Akhirnya usaha
awal dia jalani sebagai pedagang beras usaha yang dijalani berkembang pesat
hingga masyarakat banyak menyebutnya sebagai “juragan beras”. Banyak hambatan
yang dialami sewatu pertama, dimulai deri pencarian modal untuk membeli kios,
persaingan harga dan pelanggan. Banyak cemoohan yang dia terima, dikatakan
kalau dia menggunakan dukun agar usahanya pesat. Semua dia terima dan tetap
dijalani, hingga dia mampu membeli sepeda motor masa itu dari hasil usahanya.
Dan pada tahun 1989 dia menemukan pasangan hidupnya, hingga mempunyai dua anak
perempuan. Nida Usanah dan Istighroqu Uswatun Chasanah, buah hati yang dia
miliki dengan Supariyah.
Tetapi naas,
tahun 1990 an pasar Temenggungan Kebumen kala itu kebakaran sehingga hanya
meninggalkan bongkahan-bongkahan kayu yang tersisa. Dan uang yang telah dia
kumpulkan bertahun-tahun telah dia tabung dalam
kios, hancur lebur bersama debu dan asap api sehingga, hanya penyesalan
yang ada.
Senyum wajahnya
menggambarkan keteduhan dan tatapannya memancarkan keyakinan ini, selalu
membuat kedua anak perempuannya patuh akan kata-kata perintahnya. Terkesan
kalem dan pendiam tetapi ketegasan dan keras kepala, apapun yang dia
perintahkan harus dijalani, tidak boleh ada kata “nanti,capeklah”, karena dia
mengajarkan kedisplinan hidup kedua anaknya. Siap menerima kerasnya hidup untuk
selalu kerja keras dalam segala hal, motivasi yang dia berikan untuk
mempersiapkan kedua anaknya dimasa depan.
Masalah agama selalu
dia paksakan menjadi hal utama yang dimiliki anaknya, seperti solat, mengaji
dan mengikuti pengajian rutin dilakukan. Terkadang dia membawa anak-anaknya
untuk ikut pengajian rutin di luarkota. Karena
dengan agama yang kuat prinsip hidup yang kau tetapkan akan kuat.
Comments
Post a Comment